Wednesday 22 February 2017

Jaa & Doo: The First Pieces

Tidak ada yang salah dalam pertemanan wajar antara Jaa dan Doo.
Sampai akhirnya Doo merasakan kupu-kupu hadir di perutnya tiap kali matanya menangkap Jaa sebagai objek yang mengalasankan itu jatuh tepat pada retina, lalu saat itu ia memutuskan bahwa ini mau.

Atau saat Jaa mengikrarkan sesuatu yang ia rasakan menjalar dari hati hingga ke kepala dengan liarnya, hingga membuat isi kepalanya semrawut acap kali memikirkan hal selain Doo, maka sejak saat itu ia memutuskan bahwa ini candu.

Entahlah, entah mana yang terlebih dulu.

.

Jaa yang berteman sepi merasa Doo adalah penghibur yang riang.
Ini temu.
Namun Jaa khilaf menyadari bahwa Doo berteman kuburan, hingga Jaa jatuh pada nyaman.
Ini semu.
.

Doo tidaklah begitu sendiri, namun ia pelamun sepi, segala hal ia anggap duri hingga menusuk dirinya sendiri, tawanya ceria, berbalut drama, hidupnya paksa.

Begitulah ribuan hari ke depan di antara mereka tercipta, terselip diantara selasar pagi hingga senyum terik oleh matahari yang sesekali membumihanguskan, namun bangkit lagi pada redup sore yang kemudian menggoda jingga pada senja dan romantis malam dalam temaramnya yang diam.

Waktu-waktu pun berhenti tergugu pada hati yang dipaksa mau.
Terus begitu.

.

Sesekali tak lupa mereka menggila pada jarak dan kemudian berdamai kembali dengan hati. Tak jarang pula mereka melupa pada nyata dan menepiskan ilusi, hei itu hidup atau mimpi?

Hingga Doo pun terperanjat, menyadari Jaa yang menurutnya berubah. Jaa pun tak mau kalah, ia ikut mengeluh pada Doo yang menurutnya telah berubah pula. Mereka memarah sembari hati terus memintal. Hubungan jatuh dalam kesal tapi otak terus membebal.
Ini jauh dari kenal.

.

Lalu selasar pagi menyepi, terik matahari tak tahu senyum lagi, jingga meninggalkan bekas marah memerah pada senja yang menghitam, tanda langit berganti malam.
Semua terasa memuakkan. Doo berserapah dengan kalimat antah berantah.
Jaa terdiam dan berlalu ke entah.

.

Kini ratusan bulan berganti rupa, dari sabit ke cembung hingga bulat penuh merekah.
Langit yang mereka pandang tidaklah pernah sama, sebab perbedaan waktu dua negara.
Hatinya saja yang sama tapi langkahnya berbeda.

Inilah yang diserapahinya, mengapa tak dimatikannya saja kupu liar di limbung perutnya hingga habis tak tinggal sisa. Doo pun berlalu tanpa peduli jeda.
Jaa masih saja disana, memikirkan semrawut di kepala yang tak henti pada satu tanya, kapan reda?
Namun nasib tidak tunduk pada mereka.

.

Ini semua hanyalah cerita. Seperti yang kukabarkan padamu, ini hanya cerita. Jaa dan Doo tidak pernah ada. Karena mereka hanya liar dalam imaji kepala.

Sebab mereka memeluk lupa.
Sebab mereka tidak mengusahakan rasa.
Sebab mereka memilih pendarnya buang dari nalar kepala.
Sebab mereka tak mau ada tumpah pada mata.
Sebab mereka adalah sebab-musabab suatu cerita yang aku rindu itu ada.

No comments:

Post a Comment