Saturday 24 February 2018

Dia



Handphone-nya bergetar untuk kali ketiga, Disha kembali mengabaikannya.
Pandangannya suntuk menatap benda mati itu bergetar-getar entah untuk ke berapa kalinya. Jemarinya pun sibuk bermain dengan puntungan rokok yang belum habis terbakar.

"Jangan jual mahal", Ori menimpalinya dengan mulut penuh, tak habis-habis dikunyahnya biskuit coklat milik Rifa.

"Biar dia tau! Susah mendapatkan aku Ri!", Disha balas menimpali dengan ketus.

"Juga susah hatimu kalau dia tidak sengotot itu menghubungimu 'kan? Serba salah deh menghadapi wanita ini, dihubungi salah, eh gak dihubungi malah makin salah", Rifa berkomentar tidak kalah sinis. Sekarang biskuit coklat yang nyaris dilumat habis oleh Ori berhasil mendarat di mulutnya, berkeping-keping.

"Iya, sebab kamu bukan wanita", cibir Ori dengan gaya mengejek khasnya.

"Aku tidak butuh komentar kalian, Dia harus bisa menjelaskan semuanya!", Disha nyaris mengambil handphone-nya dengan bantingan. Mengenakan jaket yg disandarkannya di kursi dengan asal lalu mengambil kunci kos-nya dan berlalu.

Base Camp Coffee selalu menjadi tempat mereka berkumpul, entah ada berapa wanita disana. Sekedar hang out dan melepas suntuk sudah menjadi pemandangan biasa di sudut kota kembang ini. Kafe ini lebih banyak dikunjungi wanita, wanita dewasa kota metropolitan yang gaul tepatnya. Mereka berkunjung hingga larut malam, hanya untuk melepas penat.

Malam itu cuaca dingin seperti biasa. Sedingin hati Disha. Ia duduk di kursi pinggiran jalan kota. Beberapa pasangan lalu lalang, sesekali diliriknya mereka dengan sinis. Entah kenapa melihat dua sejoli menjadi pandangan yang menjijikkan baginya.

Ia sulut lagi sebatang rokok, dihisapnya lamat-lamat. Cukup menghangatkan parunya. Ia pandangi bayang dirinya di pantulan kaca mobil yang berhenti di depannya. Rambut panjang coklat bergelombang terurai asal di bahunya. Jeans kumal dan kaos putihnya terlihat lusuh. Pelan-pelan ia dekap lagi jaketnya dengan erat, "Gila, dingin banget", serapahnya dalam hati.

"Hei Disha, dimana loe? Buruan dateng, Dia disini nih, loe buat deh perhitungan dengan Dia, minta jelasiLinen semuanya ke dia! Biar ilang suntuk di otak loe", pesan dari Rifa masuk ke -nya.

"Dimana?", jemari Disha membalas chat itu dengan cepat.

"Ya Base Camp lah!", balas Rifa singkat.

Tanpa menunggu, Disha mempercepat langkahnya. Berjalan menembus dinginnya kota Bandung. Beberapa manusia terdengar hingar bingar di beberapa taman kota. Ia mempercepat langkahnya. Tiba di pertigaan lampu merah Dago, dia berbelok ke kiri, Base Camp Coffee tak jauh dari sana.
Dengan lokasi yang sedikit menjorok, ditumbuhi pepohonan rindang, lebih banyak pengunjung wanita seperti biasa.

Dari jauh Disha melihat Ori yang asyik duduk di pangkuan Rifa. Malam itu Ori terlihat feminin seperti biasa dan Rifa dengan jeans puntungnya tetap saja terlihat manis, yah sedikit tampan. Tapi bukan Disha namanya jika berani merebut Rifa dari Ori. Ia bukan tipe makan tanaman, tidak seperti Sita.

"Apa maksud loe!", Disha menolak kuat bahu Dia dari belakang.

"Maaf Disha, undangan itu beneran, dan malam ini gua kesini untuk pamitan", jawab Dia lembut, hal ini yg acap kali melemahkan Disha.

"Maksud loe?"

"Gua mau berubah. Gak mau beginian lagi. Selama ini gua menghindar dari loe karena Gua coba untuk berubah, Sha", wajah Dia melemah.

Disha terdiam. Rifa dan Ori tampak memandangi mereka dari meja seberang. Musik berdentuman tak mau kalah dengan kemelut di pikiran Disha. Kali ini dia harus mampu melepaskan wanita yang dicintainya. Kali kedua, berat rasanya. Lalu tanpa pikir panjang Disha memilih menghujam lipatan pisau di tangannya ke perut bawah Dia, perlahan, memutar dalam.
Air matanya menetes. 

"Jangan ya? Jangan pergi, begini saja dulu".

Disha tau apa yang dilakukannya.
Disha hanya belum mau merasakan sakit kehilangan Dia, seperti ketika Disha kehilangan Rifa dulu, tidak mau lagi.

No comments:

Post a Comment