Dipandanginya lagi layar di
ponselnya lamat-lamat. Sudah hampir 9 hari Dito tidak berkabar. Keramaian pasar
Kriya di malam itu tidak menggubris sepi yang ada di hati Naya.
***
Sebulan yang lalu..
“Nduk, jangan terlalu lelah
bekerja”, pesan ibu dari telepon.
“Iya Bu, masih pukul 9 malam, jalanan masih ramai kok”, Naya
kembali meletakkan beberapa lembar kertas fotocopian di mesin. Pelanggan masih
ramai. Jalanan di daerah Magersari belum sepi sampai dini hari. Bekerja hingga
larut sudah biasa dilakoni Naya.
“Yasudah, makan jangan telat, Nduk. Kamu masih gadis, tidak baik
juga pulang malam kan.”
Pikiran Naya menerawang entah kemana, wajahnya kusut, tidak
bernyawa.
“Nduk?”, panggil Ibu. “Kamu masi disitu?”, Ibu bertanya lagi.
“Iya bu, ini Naya mau bersiap tutup toko”, tandas Naya.
“Baiklah, hati-hati Nduk”, tutup Ibu.
Suara telepon di seberang sana pun dimatikan.
***
“Naya kemana?”, Ria menanyakan keberadaan temannya dengan Sari,
yang juga satu kos dengan Naya.
“Eh, udah lama kamu ga muncul Ria. Nyari Naya ya? Dia kemarin kan
pulang ke rumahnya”, Sari menjawab seadanya.
“Pulang? Kok gak bilang sih? Payah tuh anak”, celetuk Ria.
Sari diam sejenak, lalu melanjutkan, “Kamu ada merasa yang aneh
gak sih sama dia?”
“Maksudmu?”, Ria merasakan hal yang sama namun masih penasaran
dengan maksud Sari.
“Iya sih, dia sering melamun, kelihatan sedih, padahal minggu lalu
dia baru diberikan cincin emas oleh Dito loh, harusnya dia senang kan ya?”,
cerita Sari.
“Cincin emas? Dari Dito?”, Ria bertanya heran. “Mereka mau nikah?”,
tanyanya.
“Loh, kamu gak tau? Kayaknya dia heboh deh bahas itu sejak 2
minggu lalu. Ternyata tebakannya benar, bahwa dia mau dilamar”, tampak senyum
sumringah di wajah Sari.
Ria bergeming sejenak. “Kamu tau kan kalo Dito kecelakaan 3 minggu
yang lalu? Justru karena itu aku kesini mencari Naya, aku gak sempat
mengucapkan bela sungkawa langsung sama Naya, karena sibuk dengan pekerjaan
baruku. Aku udah gak di warung Magersari lagi Sar, bulan lalu aku udah pindah
ke Pemalang.”
“Hahaha… Kamu bercandanya keterlaluan Ria!”, Sari mencibir candaan
Ria yang menurutnya garing. “Baru minggu lalu Dito ngasih cincin ke Naya, dan 4
hari lalu kalo gak salah dia bilang mau pulang ke Ambarawa, katanya sih ke
rumah calon mertua, diundang sama keluarga Dito kesana, mau bahas pesta kali”.
Ria heran dengan penuturan Sari yang tak masuk akal. “Aku gak
bercanda, Sar. Dito uda meninggal”.
“Lalu Naya? Kemana dong? Ngapain ke Ambarawa?”, Ria mencelos.
***
Sesekali dipandanginya interaksi penjual dan pembeli di pasar itu.
“Hmm.. Selalu ramai”, Batin Naya.
Dipandanginya lagi cincin emas yang melingkar di jari manis tangan
kanannya. Uang gajinya habis membeli cincin itu. Ibu pasti senang karena anak
perempuan tertuanya akan menikah. Tidak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan
sinis yang dilontarkan kepadanya. Pertanyaan yang memuakkan baginya. Naya anak
pertama dari lima bersaudara. Ketiga adik perempuannya sudah menikah. Naya tak
juga kunjung menikah. Penantian panjangnya pada Dito berakhir mengenaskan sejak
kabar pernikahan Dito yang diterimanya 2 bulan lalu.
Namun Naya tak perlu bersedih lagi, sebab kecelakaan sebulan lalu
sepulang Dito dan istrinya dari lokasi wisata Semirang telah merenggut nyawa
keduanya. Naya hanya perlu menyusul, begitu pikirnya. Motornya pun terus
dipacunya melesat melewati jalur Ungaran menuju Bergas lalu Ambarawa dan
seterusnya. Matanya kosong, menari-nari ke kisah beberapa bulan silam. Saat
Dito menjadi satu-satunya alasan bahagia bagi Naya. Sekarang sudah tidak ada
lagi.
“Aku hanya perlu menyusulnya”, batinnya.
No comments:
Post a Comment