Saturday 31 March 2018

Menyusul Dito






Dipandanginya lagi layar di ponselnya lamat-lamat. Sudah hampir 9 hari Dito tidak berkabar. Keramaian pasar Kriya di malam itu tidak menggubris sepi yang ada di hati Naya.

***
Sebulan yang lalu..

“Nduk, jangan terlalu lelah bekerja”, pesan ibu dari telepon.

“Iya Bu, masih pukul 9 malam, jalanan masih ramai kok”, Naya kembali meletakkan beberapa lembar kertas fotocopian di mesin. Pelanggan masih ramai. Jalanan di daerah Magersari belum sepi sampai dini hari. Bekerja hingga larut sudah biasa dilakoni Naya.

“Yasudah, makan jangan telat, Nduk. Kamu masih gadis, tidak baik juga pulang malam kan.”

Pikiran Naya menerawang entah kemana, wajahnya kusut, tidak bernyawa.

“Nduk?”, panggil Ibu. “Kamu masi disitu?”, Ibu bertanya lagi.

“Iya bu, ini Naya mau bersiap tutup toko”, tandas Naya.

“Baiklah, hati-hati Nduk”, tutup Ibu.

Suara telepon di seberang sana pun dimatikan.

***

“Naya kemana?”, Ria menanyakan keberadaan temannya dengan Sari, yang juga satu kos dengan Naya.

“Eh, udah lama kamu ga muncul Ria. Nyari Naya ya? Dia kemarin kan pulang ke rumahnya”, Sari menjawab seadanya.

“Pulang? Kok gak bilang sih? Payah tuh anak”, celetuk Ria.

Sari diam sejenak, lalu melanjutkan, “Kamu ada merasa yang aneh gak sih sama dia?”

“Maksudmu?”, Ria merasakan hal yang sama namun masih penasaran dengan maksud Sari.

“Iya sih, dia sering melamun, kelihatan sedih, padahal minggu lalu dia baru diberikan cincin emas oleh Dito loh, harusnya dia senang kan ya?”, cerita Sari.

“Cincin emas? Dari Dito?”, Ria bertanya heran. “Mereka mau nikah?”, tanyanya.

“Loh, kamu gak tau? Kayaknya dia heboh deh bahas itu sejak 2 minggu lalu. Ternyata tebakannya benar, bahwa dia mau dilamar”, tampak senyum sumringah di wajah Sari.

Ria bergeming sejenak. “Kamu tau kan kalo Dito kecelakaan 3 minggu yang lalu? Justru karena itu aku kesini mencari Naya, aku gak sempat mengucapkan bela sungkawa langsung sama Naya, karena sibuk dengan pekerjaan baruku. Aku udah gak di warung Magersari lagi Sar, bulan lalu aku udah pindah ke Pemalang.”

“Hahaha… Kamu bercandanya keterlaluan Ria!”, Sari mencibir candaan Ria yang menurutnya garing. “Baru minggu lalu Dito ngasih cincin ke Naya, dan 4 hari lalu kalo gak salah dia bilang mau pulang ke Ambarawa, katanya sih ke rumah calon mertua, diundang sama keluarga Dito kesana, mau bahas pesta kali”.

Ria heran dengan penuturan Sari yang tak masuk akal. “Aku gak bercanda, Sar. Dito uda meninggal”.

“Lalu Naya? Kemana dong? Ngapain ke Ambarawa?”, Ria mencelos.


***


Sesekali dipandanginya interaksi penjual dan pembeli di pasar itu.

“Hmm.. Selalu ramai”, Batin Naya.

Dipandanginya lagi cincin emas yang melingkar di jari manis tangan kanannya. Uang gajinya habis membeli cincin itu. Ibu pasti senang karena anak perempuan tertuanya akan menikah. Tidak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan sinis yang dilontarkan kepadanya. Pertanyaan yang memuakkan baginya. Naya anak pertama dari lima bersaudara. Ketiga adik perempuannya sudah menikah. Naya tak juga kunjung menikah. Penantian panjangnya pada Dito berakhir mengenaskan sejak kabar pernikahan Dito yang diterimanya 2 bulan lalu.

Namun Naya tak perlu bersedih lagi, sebab kecelakaan sebulan lalu sepulang Dito dan istrinya dari lokasi wisata Semirang telah merenggut nyawa keduanya. Naya hanya perlu menyusul, begitu pikirnya. Motornya pun terus dipacunya melesat melewati jalur Ungaran menuju Bergas lalu Ambarawa dan seterusnya. Matanya kosong, menari-nari ke kisah beberapa bulan silam. Saat Dito menjadi satu-satunya alasan bahagia bagi Naya. Sekarang sudah tidak ada lagi.

“Aku hanya perlu menyusulnya”, batinnya.



No comments:

Post a Comment