Sunday 2 September 2018

Hilang




Dilangkahkannya kakinya perlahan. Sesekali dimainkannya rok bunga pink kuning cerah yang dikenakannya. Cuaca hari ini cerah, secerah hati Lina. Meskipun tidak lelah, ia tetap mengistirahatkan badannya di bangku pinggir jalan di taman Braga. Lina tak henti-hentinya mengucap syukur akan kelahiran anaknya 3 bulan lagi. Yah, masih lama sih, tapi buncahan hatinya sudah tak terbendung lagi.

Saat sedang memejam mata, Lina tertidur. Ia tersentak saat terdengar getaran dan suara ponsel dari tas sandangnya. Segera ia mengangkat telefon dari suaminya. 
“Kamu dari mana saja sayang?”, suaminya bertanya dengan suara resah.
“Maaf Mas, Aku ketiduran di bangku taman kota”, jawab Lina pasrah.
“Daerah mana?
“Braga, Mas.”
“Oh, dekat. Iya deh, aku tunggu di rumah, hati-hati ya sayang.”

Lina segera beranjak dari kursinya. Tiba-tiba ia tersentak dan berhenti. Ia elus perutnya. 
“Hufft… gerakanku terlalu cepat, untung dedek di dalam tak terkejut”, batinnya.
Dengan santai ia kembali melangkahkan kakinya, pulang ke rumah. Langit senja tampak merona jingga kehitaman, tanda hari mulai gelap.

Di persimpangan jalan, Lina berpapasan dengan seorang nenek renta berwajah masam. Saat bertemu tatap dalam jarak yang terbilang dekat, nenek tua itu berhenti dan menoleh ke perut Lina yang tampak membuncit dari rok pink kuning bunga-bunganya.

“Hamil?”, tanya si Nenek.
“Iya nih, Nek”, jawab Lina kaku.
“Berapa bulan?”, tanya si Nenek lagi.
“Alhamdulillah 25 minggu, Nek”, jawabnya sumringah.
“Oh”, balas si Nenek datar. “Pulanglah, sudah magrib”, jawab si nenek sambil berlalu sembari memegang perut Lina. Agak ditekan. Sakit.

Lina memandangi si Nenek hingga hilang di persimpangan. “Aneh sekali”, pikirnya.
Ia kembali mengelus perutnya dan berjalan pulang perlahan.

                                            ooOOOoo

Pagi itu Lina malas bangun terlalu subuh. Sengaja ia balikkan tubuhnya ke kanan sebentar, lalu kembali tidur lagi. Ia mengintip dari balik selimut dan melihat suaminya tidak ada di sampingnya. Tempat tidur bagiannya masih rapi.
“Hmm.. Belum pulang juga”, batinnya.

                                         ooOOOoo

Lina berlari perlahan menutup jendela dapur rumahnya. Hujan deras mengguyur kota Bandung. Halaman rumah sudah dibanjiri hujan. Lina menunggu dengan resah di dapur. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. Ia begitu sumringah melihat suaminya pulang. Buru-buru ia mengambil handuk di westafel dan membantu mengeringkan badan Mas Gardi.
“Capek Mas?”, tanya Lina lembut sembari mengusap rambut suaminya yang basah.
“Tadi sih iya, sekarang gak lagi, ‘kan uda liat kamu”
Lina tersenyum kecil sambil mendorong bahu suaminya. “Ah, Mas ini bisa aja deh. Kamu mau mandi? Aku panasin air ya?”.
“Gak usah, aku cuma sebentar, ini pulang cuma mau ganti sepatu lho sayang”. 
Lina diam tertegun, “Oh.”

                                    ooOOoo

Malam ini Lina pun tidur sendiri, sudah berapa malam sejak 3 bulan terakhir suaminya jarang tidur di rumah. “Mungkin sibuk di kerjaan”, pikirnya.
Sesekali ia elus perutnya yang terasa sedikit nyeri. Lina mengatur napas perlahan yang terasa sesak. Air matanya mengalir, tak terasa bantalnya pun sudah basah.

Hari sudah pagi, Lina terbangun dengan mata sembab, sinar matahari dari celah gorden menusuk-nusuk matanya. Lina tersentak ketika dilihatnya pukul sudah menunjukkan jam 10 pagi. Segera ia tarik selimut dari badannya dan bergegas.
“Aaaaaaaarghhhhh!!!!!”, betapa Lina terkejut bukan kepalang ketika melihat perut buncitnya telah hilang!
Apa yang terjadi? Mimpikah?
Berkali-kali ia meraba perutnya tetapi nihil.  Dengan bodohnya Lina mengobrak-abrik selimut, kasur, bantal dan menjenguk kolong tempat tidur seakan mencari benda yang hilang. 
Perutnya rata. Kandungannya hilang.

                                        ooOOoo

Mas Gardi terbangun dengan sentakan pukulan di bahunya.
“Ih bangun! Istri kamu nih nelpon-nelpon! Berisik amat sih!”
“Siapa sih, ‘kan kamu yang istri aku”, desah Mas Gardi yang masih mengantuk. Ia ambil hp nya dan segera ia matikan ponselnya. Telepon dari Lina pun seketika terputus.
“Kamu ih, nyebelin deh!”
“Apalagi sih sayang”, rayu Mas Gardi mesra sembari melingkarkan lengannya di perut Juma, dielusnya perut buncit Juma, “Tuh, langsung 6 bulan ‘kan?”
Juma tersenyum, dan balik memeluk suami yang sudah dinikahinya 5 tahun itu.



No comments:

Post a Comment