Thursday 11 October 2018

Ibu



“Kenapa chat ku yang lalu tidak dibalas, Bu?”, satu pesan kembali dikirim Ruri, ia mengambil bolpoin hitam yang tergeletak di atas meja kerjanya lalu melingkari satu tanggal lagi di bulan Mei.

“Ciieee ngitung hari lamaran ya?”, celetuk Noni dari balik meja.

Ruri pun tersenyum masam, untuk beberapa pertanyaan memang tak perlu jawaban, pikirnya. 
Setelah Noni menghilang dari balik meja, Ruri kembali melamun melihat ke arah ponselnya. Sudah ribuan pesan yang dikirimkan, tapi tak satu pun ada balasan. Lalu ia buang pandangannya menatap jauh ke jendela kerja di sampingnya, tampak pemandangan langit putih luas terbentang dari jendela kantornya di lantai 8.

“Ibu, apakah kau sudah makan? Kenapa chat ku tak juga dibalas? Semarah itu kah?”, berselang 2 jam, chat kembali dikirim Ruri untuk Ibu.

“Ri, makan yuk”, ajak Noni tiba-tiba.

“Udah jam makan siang nih”.

“Ayo”, jawab Ruri singkat.

Sendok dan piring berdentingan. Mereka makan dalam diam. Cuaca hari itu panas, ditambah suasana warteg yang sesak, menambah kepenatan di siang itu, terutama di pikiran dan hati Ruri, yang selalu saja carut.

"Kamu kenapa sih, belakangan murung terus, berantam lagi sama Kalil?”, tanya Noni mencoba memecahkan keheningan.

“Cerita donk Ri, apa enaknya sih mendam masalah sendiri?’, sambung Noni lagi.

Ruri tersenyum getir, “Bukan Non, bukan masalah sama Kalil, aku dan dia baik-baik saja kok”.

“Lantas?”, tanya Noni penasaran.

"Ibu”, jawabnya singkat dan tertahan. “Ibu tak pernah mau membalas chat ku, belakangan beberapa bulan lalu hubungan kami tak baik”, jawab Ruri.
Disendokkannya lagi nasi ke dalam sup, namun hanya dimainkannya saja, tak berminat ia menyendokkan ke mulutnya.

“Boleh aku tau ada masalah apa dengan Ibu ri?”, tanya Noni penasaran.
Ruri meletakkan sendoknya tenggelam dalam mangkuk sup. Pandangannya masih menunduk, namun matanya nanar ke atas menatap Noni.

"Eh, kalau kau tak suka, tak dijawab juga tak apa loh”, jawab Noni segan.

“Dia marah karena 3 bulan lalu aku pergi menjenguk Ayah. Ibu benci sekali dengan Ayah sejak perselingkuhannya dengan adik Ibu terbongkar”, jawab Ruri datar.
Noni agak terperangah mendengar penuturan Ruri, tapi ia pandai pura-pura menyembunyikannya.

“Ya sudah, coba saja temui Ibu, Ri, jelaskan padanya pelan-pelan, yakinlah tak ada Ibu yang tak memaafkan”, Noni mencoba memberi nasihat dengan pelan.

“Bagaimana bisa jumpa? Chat ku saja enggan dibalasnya”, Tutup Ruri.  
                                                                             
                                                                           ooOOoo 



Hari sudah gelap. Setelah beberapa jam berdiri di kereta,  Ruri tiba juga di stasiun Gambir, jarak dari Grogol ke Gambir memang memakan waktu lama. Ya, rumah ibu ada disana. Setelah menumpang ojek dari Gambir, akhirnya ia tiba di gerbang rumah ibu, ia membuka gerbang besar yang tak terkunci itu, lalu masuk ke halaman.

Halaman rumah ibu bisa dibilang cukup luas. Namun Ruri tak langsung menuju ke teras rumah, ia malah mengitari rumah ke sudut semak-semak belukar di halaman belakang rumah. Ia merogoh sesuatu dengan susah payah di antara semak belukar. Ruri terus merogoh dan menjorokkan badannya agak masuk ke semak belukar. Tak lama ia berhasil menyentuh barang yang dicarinya. Pisau. Dengan masih berlumuran darah yang sudah kering. Ruri kembali mengitari halaman ke sudut depan dekat gerbang. Di bawah pohon mahoni yang rindang, batangnya cukup lebar, Ruri mengambil cangkul di dekat akar pohon mahoni, lalu menggali tanah di samping gundukan tanah besar disitu. Pisau itu dikuburnya disana, persis di samping gundukan besar tanah iu. Setelah itu Ruri pergi menuju gerbang rumah, sebelum membuka gerbang, ia menoleh lagi ke belakang, dipandanginya lekat-lekat rumah tua klasik dari kayu itu untuk terakhir kalinya, rumah ibu. Lampu terasnya mati. Sudah 2 bulan ibu tak lagi tinggal di rumah itu. Ibu sudah meninggal. Dibunuh.

“Ping!”, suara chat masuk terdengar dari ponsel Ruri.

Ia terkejut melihat pesan yang masuk di layar depan ponselnya, dan membacanya, “Masuklah, Ibu tak marah lagi”, mata Ruri membelalak dan nafasnya tercekat.

No comments:

Post a Comment