Wednesday 27 February 2019

Sari




“Masakan hari ini enak sekali”, kusantap suapan ketiga dengan lahap.

“Iyakah? Aku hanya menumisnya sederhana loh”, jawab istriku tersipu.

Istriku ini memang jago sekali memasak. Tidak hanya itu, dalam hal mengurusi rumah dan manajemen keuangan rumah tangga pun ia mampu irit tapi tak pelit. Hampir tidak ada kekurangan dalam dirinya.

 “Enak sekali udang kecap ini”, kupuji lagi istriku yang duduk sumringah di depan ku. Kulihat ia ketawa cekikikan sendiri.

“Eh, tadi ibu telepon, ia meminta kita ke rumah hari minggu ini, ada acara arisan di rumahnya”, istriku bercerita datar.

“Ibu? Ibu yang mana?”, tanyaku.

“Ibuku”.

“Sari, tak baik kau menghubunginya lagi, hanya membuat hatinya sedih. Kau harus merelakan ia melupakanmu. Kita juga berjanji akan menginap di rumah ibunya Ratna minggu ini.”

Mata Sari memerah, air wajahnya seketika berubah. Ia segera berdiri dengan marah dan berlalu dari hadapanku. Seketika selera makanku pun hilang. Kuikuti Sari ke kamar, ia duduk di sudut tempat tidur di sudut kamar dengan kaki menjuntai ke bawah dan hanya duduk diam disana. Itu tempat favoritnya, pikirku. Biar sajalah dia disana menenangkan diri.

***

Hari ini sabtu, kupikir bisa lah bangun agak telat. Kulihat istriku tak lagi berbaring di sampingku. Dan benar saja, di luar kamar sudah kucium harumnya nasi goreng teri buatan Sari, kulihat Sari dengan lihainya memainkan segala bumbu dan alat masakan di dapur. Pagi ini ia terlihat lebih ceria, rambut panjangnya terjuntai hingga ke paha. Bagiku melihat Sari bahagia saja sudah cukup. Sudah 6 tahun pernikahan kami namun belum satu anak pun dititipkan Tuhan untuk kami. Lalu kudekati Ia, kubelai rambutnya.

“Tidak ada satu kekurangan pun yang kutemui dari dirimu”, 

Sari terloncat terkejut dan menoleh ke belakang, “Oh, kamu mas, bikin terkejut saja!”

“Hahaha… Kamu manis sekali cemberut begitu, aku suka”.

Sari mematikan kompor tiba-tiba dan berbalik mendengus. “Kamu mau apa?”, tanyanya ketus.
“Tidak kah kamu mau anak?”, tanyaku menggodanya.

Tiba-tiba Sari membanting sendok ke wajan penggorengan dan berlalu.

“Kamu kenapa?”, tanyaku heran.

“Siapa yang cantik yang kau bilang itu? Ratna kah?? Atau aku? Tak ada wajahku dalam wajah ini!, dan aku tak akan mau melahirkan anak untukmu, anak yang hanya akan berwajah seperti Ratna, bukan aku! Kalau pun anak itu ada, lebih baik dia kubunuh seperti Ratnamu!”, mata Sari membelalak dan tampak seperti bukan dia, lalu ia bergegas ke kamar. 

Kuikuti ia ke kamar, lampu kamar gelap, dan tercium bau anyir, lagi-lagi ia duduk di sudut kamar. Kepalanya bergoyang ke atas dan ke bawah dengan kencang, membuat rambut panjangnya yang tadi terikat rapi menjadi terurai acak-acakan. Lama aku memperhatikannya sampai tiba-tiba ia berhenti menggoyangkan kepalanya dan mendelik ke arahku. Matanya merah sekali. Mata Sari. Aku segera berlari ketakutan. Dan Sari pun berteriak melengking kencang.




*6 tahun lalu*

“Maaf Ratna, aku tak bisa menerima ajakanmu untuk menikah, sementara kekasihku, Sari sedang terbaring di rumah sakit.”, jawabku lirih.

“Bukankah ia sudah merelakanmu? Dengan kondisi kaki kanan yang sudah diamputasi dan kelumpuhan anggota badan kiri seperti itu apakah kau masih mau dengannya?”, tanya Ratna menggebu.


“Ratna! Tak pantas kau bicara seperti itu! Sari seperti itu karena aku! Aku yang membuatnya kecelakaan dan menderita luka parah! Apakah menurutmu pantas kalau aku meninggalkannya begitu saja??”, kepalaku terasa panas, dadaku sesak sekali. Semua begitu membingungkan.

“Maaf, maaf mas, aku tak bermaksud begitu”, Ratna mulai terisak.

Air mata mengalir dari pipi Ratna, kulihat gadis disampingku menangis pelan. Ratna sosok yang manis, hatinya begitu lembut. Perlahan kuusap air mata dari pipi putihnya, hidung dan matanya yang memerah sembab terlihat semakin menggemaskan, kuusap kepalanya yang tertutup jilbab.

“Betapa beruntung pria yang akan mendapatkan ia nanti”, pikirku.

Tapi, kenapa baru 3 bulan ini aku kenal denganmu? Kenapa harus Sari? Kenapa harus Sari yang datang di kehidupanku 2 tahun lebih awal darimu? 
Meskipun Ratna wanita cantik dan lembut, idaman semua pria, namun Sari merupakan sosok wanita yang mandiri, sosok istri yang juga aku dambakan.



Esoknya seperti biasa, aku menjenguk Sari di rumah sakit. Dokter baru saja membolehkan Sari pindah dari ICU ke ruang rawatan biasa, jadi aku bisa lebih berlama-lama menjenguknya, dan duduk di sampingnya. Sari memang sosok wanita yang kuat dan mandiri, dengan kondisi begini pun ia masih bisa terlihat ceria.


“Aku senang kau tak kenapa-kenapa”, Sari tersenyum.

Aku terdiam. Tak tau mau menjawab apa. Kecelakaan tragis itu entah kenapa hanya menyelamatkanku. Adik Sari meninggal setelah terlempar dari kaca mobil depan dan kepalanya terbanting duluan ke aspal. Sari yang saat itu duduk di kursi belakang mobil terhimpit di kursi, kaki kanannya terjepit parah di bawah kursi dan badan kiri sulit dievakuasi karena terhimpit badan mobil. Sedangkan aku hanya luka di bagian pelipis kiri. Airbag mobil telah menyelamatkanku.

Sesaat aku melihat ke sekeliling kamar. Banyak bunga-bunga dalam candi kecil berisi lilin yang redup. Aku merasakan ada yang aneh. Dengan gusar kuperhatikan sekeliling kamar lebih seksama. Tanpa sengaja kakiku terpijak seikat bunga di lantai. Kupindahkan kakiku dengan cepat, dan terlihatku di bawah tempat tidur Sari banyak sekali bunga diikat dan lilin-lilin redup disana. Ada secarik foto di tengah rangkaian bunga tersebut dan kuperhatikan lebih detail. Wajah Ratna. 

Aku terperanjat. “Apa maksudnya ini?”, tanyaku heran.

Sari tersenyum aneh. Lama ia tersenyum dan berujar dengan tenang, “Aku ingin menjadi Ratna”.

“Apa maksudmu?,

“Aku tau kau juga mengaguminya, dan kau juga tau dengan kondisi begini hidupku tak akan lama lagi”, 

“Ini bukan sepertimu, kau tak pesimis seperti ini”, jawabku ketus.

“Tenang, aku tak akan meninggalkanmu, aku akan terus hidup”, jawab Sari tenang.

“Maksudmu?”, aku semakin tak mengerti.

“Aku akan terus hidup. Di badan Ratna. Aku belum mau mati. Biar dia saja yang mati.”


2 comments:

  1. Ya ampuuun sari,
    kamuh kejam

    mantap shan ini ceritanya
    semangat terus bumil

    ReplyDelete
  2. Hahaha ceepen Iseng na. Shandra kirain akan Agam sulit pahami alur cerita antara sari dan Ratna yg agak berbelit. Tapi penulis sekelas Nana mah pasti kecil lah utk memahaminya �� thnk u naa����

    ReplyDelete