Wednesday, 27 February 2019

Sari




“Masakan hari ini enak sekali”, kusantap suapan ketiga dengan lahap.

“Iyakah? Aku hanya menumisnya sederhana loh”, jawab istriku tersipu.

Istriku ini memang jago sekali memasak. Tidak hanya itu, dalam hal mengurusi rumah dan manajemen keuangan rumah tangga pun ia mampu irit tapi tak pelit. Hampir tidak ada kekurangan dalam dirinya.

 “Enak sekali udang kecap ini”, kupuji lagi istriku yang duduk sumringah di depan ku. Kulihat ia ketawa cekikikan sendiri.

“Eh, tadi ibu telepon, ia meminta kita ke rumah hari minggu ini, ada acara arisan di rumahnya”, istriku bercerita datar.

“Ibu? Ibu yang mana?”, tanyaku.

“Ibuku”.

“Sari, tak baik kau menghubunginya lagi, hanya membuat hatinya sedih. Kau harus merelakan ia melupakanmu. Kita juga berjanji akan menginap di rumah ibunya Ratna minggu ini.”

Mata Sari memerah, air wajahnya seketika berubah. Ia segera berdiri dengan marah dan berlalu dari hadapanku. Seketika selera makanku pun hilang. Kuikuti Sari ke kamar, ia duduk di sudut tempat tidur di sudut kamar dengan kaki menjuntai ke bawah dan hanya duduk diam disana. Itu tempat favoritnya, pikirku. Biar sajalah dia disana menenangkan diri.

***

Hari ini sabtu, kupikir bisa lah bangun agak telat. Kulihat istriku tak lagi berbaring di sampingku. Dan benar saja, di luar kamar sudah kucium harumnya nasi goreng teri buatan Sari, kulihat Sari dengan lihainya memainkan segala bumbu dan alat masakan di dapur. Pagi ini ia terlihat lebih ceria, rambut panjangnya terjuntai hingga ke paha. Bagiku melihat Sari bahagia saja sudah cukup. Sudah 6 tahun pernikahan kami namun belum satu anak pun dititipkan Tuhan untuk kami. Lalu kudekati Ia, kubelai rambutnya.

“Tidak ada satu kekurangan pun yang kutemui dari dirimu”, 

Sari terloncat terkejut dan menoleh ke belakang, “Oh, kamu mas, bikin terkejut saja!”

“Hahaha… Kamu manis sekali cemberut begitu, aku suka”.

Sari mematikan kompor tiba-tiba dan berbalik mendengus. “Kamu mau apa?”, tanyanya ketus.
“Tidak kah kamu mau anak?”, tanyaku menggodanya.

Tiba-tiba Sari membanting sendok ke wajan penggorengan dan berlalu.

“Kamu kenapa?”, tanyaku heran.

“Siapa yang cantik yang kau bilang itu? Ratna kah?? Atau aku? Tak ada wajahku dalam wajah ini!, dan aku tak akan mau melahirkan anak untukmu, anak yang hanya akan berwajah seperti Ratna, bukan aku! Kalau pun anak itu ada, lebih baik dia kubunuh seperti Ratnamu!”, mata Sari membelalak dan tampak seperti bukan dia, lalu ia bergegas ke kamar. 

Kuikuti ia ke kamar, lampu kamar gelap, dan tercium bau anyir, lagi-lagi ia duduk di sudut kamar. Kepalanya bergoyang ke atas dan ke bawah dengan kencang, membuat rambut panjangnya yang tadi terikat rapi menjadi terurai acak-acakan. Lama aku memperhatikannya sampai tiba-tiba ia berhenti menggoyangkan kepalanya dan mendelik ke arahku. Matanya merah sekali. Mata Sari. Aku segera berlari ketakutan. Dan Sari pun berteriak melengking kencang.




*6 tahun lalu*

“Maaf Ratna, aku tak bisa menerima ajakanmu untuk menikah, sementara kekasihku, Sari sedang terbaring di rumah sakit.”, jawabku lirih.

“Bukankah ia sudah merelakanmu? Dengan kondisi kaki kanan yang sudah diamputasi dan kelumpuhan anggota badan kiri seperti itu apakah kau masih mau dengannya?”, tanya Ratna menggebu.


“Ratna! Tak pantas kau bicara seperti itu! Sari seperti itu karena aku! Aku yang membuatnya kecelakaan dan menderita luka parah! Apakah menurutmu pantas kalau aku meninggalkannya begitu saja??”, kepalaku terasa panas, dadaku sesak sekali. Semua begitu membingungkan.

“Maaf, maaf mas, aku tak bermaksud begitu”, Ratna mulai terisak.

Air mata mengalir dari pipi Ratna, kulihat gadis disampingku menangis pelan. Ratna sosok yang manis, hatinya begitu lembut. Perlahan kuusap air mata dari pipi putihnya, hidung dan matanya yang memerah sembab terlihat semakin menggemaskan, kuusap kepalanya yang tertutup jilbab.

“Betapa beruntung pria yang akan mendapatkan ia nanti”, pikirku.

Tapi, kenapa baru 3 bulan ini aku kenal denganmu? Kenapa harus Sari? Kenapa harus Sari yang datang di kehidupanku 2 tahun lebih awal darimu? 
Meskipun Ratna wanita cantik dan lembut, idaman semua pria, namun Sari merupakan sosok wanita yang mandiri, sosok istri yang juga aku dambakan.



Esoknya seperti biasa, aku menjenguk Sari di rumah sakit. Dokter baru saja membolehkan Sari pindah dari ICU ke ruang rawatan biasa, jadi aku bisa lebih berlama-lama menjenguknya, dan duduk di sampingnya. Sari memang sosok wanita yang kuat dan mandiri, dengan kondisi begini pun ia masih bisa terlihat ceria.


“Aku senang kau tak kenapa-kenapa”, Sari tersenyum.

Aku terdiam. Tak tau mau menjawab apa. Kecelakaan tragis itu entah kenapa hanya menyelamatkanku. Adik Sari meninggal setelah terlempar dari kaca mobil depan dan kepalanya terbanting duluan ke aspal. Sari yang saat itu duduk di kursi belakang mobil terhimpit di kursi, kaki kanannya terjepit parah di bawah kursi dan badan kiri sulit dievakuasi karena terhimpit badan mobil. Sedangkan aku hanya luka di bagian pelipis kiri. Airbag mobil telah menyelamatkanku.

Sesaat aku melihat ke sekeliling kamar. Banyak bunga-bunga dalam candi kecil berisi lilin yang redup. Aku merasakan ada yang aneh. Dengan gusar kuperhatikan sekeliling kamar lebih seksama. Tanpa sengaja kakiku terpijak seikat bunga di lantai. Kupindahkan kakiku dengan cepat, dan terlihatku di bawah tempat tidur Sari banyak sekali bunga diikat dan lilin-lilin redup disana. Ada secarik foto di tengah rangkaian bunga tersebut dan kuperhatikan lebih detail. Wajah Ratna. 

Aku terperanjat. “Apa maksudnya ini?”, tanyaku heran.

Sari tersenyum aneh. Lama ia tersenyum dan berujar dengan tenang, “Aku ingin menjadi Ratna”.

“Apa maksudmu?,

“Aku tau kau juga mengaguminya, dan kau juga tau dengan kondisi begini hidupku tak akan lama lagi”, 

“Ini bukan sepertimu, kau tak pesimis seperti ini”, jawabku ketus.

“Tenang, aku tak akan meninggalkanmu, aku akan terus hidup”, jawab Sari tenang.

“Maksudmu?”, aku semakin tak mengerti.

“Aku akan terus hidup. Di badan Ratna. Aku belum mau mati. Biar dia saja yang mati.”


Friday, 26 October 2018

Rumah Nenek




Matahari sangat terik pagi ini, jam masih menunjukkan pukul 7, tapi cahayanya sudah mendelik-delik dibalik kain jendela. Ciutan burung terdengar sahut-menyahut dari balik jendela, segera aku bangun dan membuka kusennya. Tampak kebun labu terhampar luas beberapa meter hingga ke pagar rumah. Kabut pagi samar-samar masih tampak di antara pepohonan di jalan setapak dekat pagar rumah. 

Pelan-pelan kuhirup udaranya, “Hmm.. Segar sekali”, pikirku.


Setelah bergegas mandi, dapur menjadi tujuan utama, sepiring nasi goreng telur dadar sudah mengepul hangat di atas meja, tak lupa pula segelas susu hangat. Aku segera duduk di kursi, menghadap ke jendela dan melihat hamparan kebun labu nenek sebagai pemandangannya. Ah, liburan di rumah nenek memang selalu asik.

Perut kenyang, mata kembali mengantuk. Berlibur di desa ke rumah nenek selalu menjadi hal yang asik. Kulihat nenek sedang memetik labu madu di kebunnya. Setelah gerobaknya penuh maka nenek akan segera ke desa lain di kecamatan Ngasem untuk menjajakan labunya.

Tak lama pintu dapur terbuka, nenek masuk dan ekspresinya terpengarah melihatku di meja, namun alih-alih menanyakan perihalku, nenek malah langsung memboyong piring makanku ke westafel kecil di sudut dapur dan mencucinya.

Ah, sudahlah, mencuci piring memang salah satu hobi nenek yang suka berbenah-benah. Aku sih malas dan repot harus basah-basah begitu. Aku langsung balik dan berlari kecil ke kamar, lantai kayu rumah yang memang sudah reot pun berderik-derik. Nenek segera berlari ke pintu dapur dan memperhatikanku, mungkin terganggu dengan ringkihan lantai reot ini pikirku, lalu aku sayup-sayup berjalan perlahan dan pelan menyelinap ke balik pintu kamarku.

Kalau dihitung-hitung sepertinya sudah 3 minggu lebih aku berlibur di rumah nenek. Entah bagaimana ceritanya aku lupa, penatnya aktivitas sekolah di Kediri pun aku tak mau ingat lagi, aku lebih suka disini, di Desa Toyoresmi. Bersama nenek yang sedari dulu mengasuhku, ya, orang tua ku sudah tiada sejak aku berumur 2 tahun.

Angin dingin menyeruak masuk ke kamar, aku terbangun mendengar suara berisik nenek membanting jendela kamarku dan menutupnya, aku lupa menutup jendela, angin kencang bersahut-sahutan di luar. Selepas makan tadi pagi aku beranjak ke tempat tidur dan tertidur. Wajah nenek tampak melihatku tanpa ekspresi, aku heran ada apa dengan nenek hari ini.

Pukul sudah menunjukkan jam 9 malam, pelan-pelan aku menyelinap ke dapur, aku lapar.  

“…… nenek takut….kenapa kau tak datang saja dan lihat sendiri?",

Sayup-sayup kudengar suara nenek di di ruang tamu, kudatangi suara itu, dan kulihat nenek meringkuk di sofa tamu sembari menelepon.
“Ari, datanglah besok pagi”, nenek tampak meminta pada seseorang di seberang pesawat telepon, Ari, kakak sepupuku yang bedagang di kota Kediri.


Ntah kenapa ada perasaan marah dalam hatiku. Aku tak suka rumah ini dikunjungi orang lain, siapapun itu. Aku mau hanya aku dan nenek. Petir terdengar menggelegar di luar, angin kencang tadi disambut oleh hujan gerimis yang semakin lebat. Nenek sepertinya tak nyaman dengan kehadiranku. Benar saja, saat aku ke dapur, nenek sudah membersihkannya, dia tak menyisakan makanan di meja makan. Hanya ada gelas setengah kosong berisi air. Dengan sengaja kusenggol gelas itu dan tumpah pecah menyeruak di lantai dapur. Demi mendengar suara pecahan itu, nenek langsung menutup telepon dan beranjak masuk ke kamarnya. Aku makin marah dan tak suka.

Esok sore kak Ari sudah tiba di pagar rumah, matanya berbinar-binar memuji betapa ranumnya labu madu di kebun nenek. Aku hanya memperhatikan nenek menyambutnya di pagar rumah. Samar tapi masih dapat kudengar, kak Ari menanyakan suatu hal pada nenek yang menyakiti hatiku.

“Arwah Sari masih gentayangan di rumah ini, Nek?”


“Hush, jangan bertanya begitu, nanti dia marah”, jawab nenek.

Monday, 15 October 2018

Berobat di Penang – Kota Wisata Kesehatan


   



  Kalo tiap kota terkenal dengan keunikan tempat atau keindahan lokasi wisatanya sehingga menjadi magnet tersendiri bagi pelancong baik turis manca negara maupun domestik, maka lain halnya dengan Pulau Pinang di Malaysia.

   Pulau Pinang atau lebih dikenal dengan sebutan Penang ini justru terkenal dengan wisata medisnya, yang banyak menjadi tujuan pendatang untuk berobat terutama di beberapa negara tetangganya seperti Indonesia, Thailand, Filipina, dan lainnya.

Memilih Rumah Sakit di Penang

   Untuk tips berobat ke Malaysia sendiri, sebaiknya sebelum memutuskan rumah sakit mana yang mau dikunjungi, pasien mencari terlebih dahulu bidang apa kelebihan rumah sakit tujuannya. Misal, untuk penyakit jantung lebih bagus memilih RS Adventist karena rumah sakit ini sendiri “expert” di bidang jantung, untuk kandungan yang terkenal adalah RS Lam Wah Ee yang jago di bidang bayi tabung dan masalah kandungan lainnya, atau RS Mount Miriam Cancer yang “expert” di bagian kanker.

    Memang hampir semua rumah sakit mempunyai spesialis di semua bidang penyakit, tapi tiap-tiap rumah sakit tentu punya “expert” yang lebih ditonjolkannya :)

Biaya Pengobatan

   Untuk perbandingan pelayanan di Penang (yang kebetulan waktu itu aku membawa orang tua perempuanku berobat di Lam Wah Ee Hospital), tidak ada beda antara RS swasta maupun pemerintah di Penang, karena Alhamdulillah semuanya bagus dengan pelayanan yang prima.

   Untuk terkhusus “dana” pengobatan yang dikeluarkan, RS Lam Wah Ee sendiri mempunyai biaya yang standar, contoh untuk biaya scan whole abdomen (scan perut atas dan bawah) dikenakan cas sekitar 1400 ringgit (4,9 jt dengan taksiran 1 ringgit=3500 rupiah), dan biaya scan di Indonesia sendiri kisaran 1,5 - 2 jt (ini tarif prediksi, hehe).

     Biaya konsultasi dokternya sendiri tergolong murah menurut saya, yaitu 10 ringgit untuk biaya resgistrasi bagi pasien yang pertama kali berobat dan 75 ringgit untuk biaya pertama kali konsultasi dengan dokter. Untuk biaya resgistrasi di selanjutnya adalah 5 ringgit dan biaya konsultasi dengan dokter selanjutnya adalah 53 ringgit (untuk kesemua biayanya jika ingin tau nilainya dalam rupiah, dikalikan sendiri aja dengan nilai 3500 rupiah ya).

       Nah, RS disana memang sangat mengedepankan pelayanan, mulai dari pintu registrasi kita sudah dibantu dengan berbagai kemudahan. Bahkan mereka juga menyediakan Money Changer di rumah sakitnya sehingga setiap pasien dari berbagai negara tidak perlu repot-repot lagi menukar uangnya, dan mata uang yang dijual pun dengan harga yang relatif murah. Jadi, saran saya sih bagus bawa uang cash rupiah dari Indonesia saja ya.. Kalo di ATM agak mahal rate harga ringgitnya dan belum lagi nanti kena cas biaya penarikan duit sekitar 20rb/penarikan :p

    Oia juga jangan lupa untuk beberapa bank ada limit penarikan ya, contoh seperti MayBank limit penarikan 2700 ringgit/hari.

Tempat Penginapan

     Di Lam Wah Ee Hospital, penjaga pasien hanya dibenarkan untuk satu orang saja dan orang tersebut harus perempuan. Meskipun pasiennya laki-laki atau perempuan, orang yang menjaga pasien tetap hanya boleh perempuan. Jika tidak maka pasien harus sendirian di kamar rawat inap (tentu bersama perawat yang bersedia di “bell” selama 24 jam ya, hehe..)

    Bagi kamu yang laki-laki, sila mencari hotel atau penginapan di sekitaran RS yang tergolong murah. Well, di dekat rumah sakit (10 menit berjalan kaki) terdapat penginapan sejenis apartemen murah (sekitar 40-50 ringgit per malamnya) dan untuk info penginapan ini saya mendapatkannya dari selebaran yang dibagi di gerbang RS, jadi saya tidak tau persis infonya ya, hehe..

    Saya sendiri saat itu menginap di hotel di depan RS (3 menit berjalan kaki) dengan harga 59 ringgit/malam dan akan lebih murah lagi kalo kamu nge-booking nya via agoda.com
Well,, itu aja dulu info seputar biaya pengobatan di Penang dengan pembanding harga di satu rumah sakit ya, kurang afdol sih, hehe..

Next topic we will discuss about lokasi wisata dan kuliner di kota Penang ini ya, see u very soon :D

Thursday, 11 October 2018

Ibu



“Kenapa chat ku yang lalu tidak dibalas, Bu?”, satu pesan kembali dikirim Ruri, ia mengambil bolpoin hitam yang tergeletak di atas meja kerjanya lalu melingkari satu tanggal lagi di bulan Mei.

“Ciieee ngitung hari lamaran ya?”, celetuk Noni dari balik meja.

Ruri pun tersenyum masam, untuk beberapa pertanyaan memang tak perlu jawaban, pikirnya. 
Setelah Noni menghilang dari balik meja, Ruri kembali melamun melihat ke arah ponselnya. Sudah ribuan pesan yang dikirimkan, tapi tak satu pun ada balasan. Lalu ia buang pandangannya menatap jauh ke jendela kerja di sampingnya, tampak pemandangan langit putih luas terbentang dari jendela kantornya di lantai 8.

“Ibu, apakah kau sudah makan? Kenapa chat ku tak juga dibalas? Semarah itu kah?”, berselang 2 jam, chat kembali dikirim Ruri untuk Ibu.

“Ri, makan yuk”, ajak Noni tiba-tiba.

“Udah jam makan siang nih”.

“Ayo”, jawab Ruri singkat.

Sendok dan piring berdentingan. Mereka makan dalam diam. Cuaca hari itu panas, ditambah suasana warteg yang sesak, menambah kepenatan di siang itu, terutama di pikiran dan hati Ruri, yang selalu saja carut.

"Kamu kenapa sih, belakangan murung terus, berantam lagi sama Kalil?”, tanya Noni mencoba memecahkan keheningan.

“Cerita donk Ri, apa enaknya sih mendam masalah sendiri?’, sambung Noni lagi.

Ruri tersenyum getir, “Bukan Non, bukan masalah sama Kalil, aku dan dia baik-baik saja kok”.

“Lantas?”, tanya Noni penasaran.

"Ibu”, jawabnya singkat dan tertahan. “Ibu tak pernah mau membalas chat ku, belakangan beberapa bulan lalu hubungan kami tak baik”, jawab Ruri.
Disendokkannya lagi nasi ke dalam sup, namun hanya dimainkannya saja, tak berminat ia menyendokkan ke mulutnya.

“Boleh aku tau ada masalah apa dengan Ibu ri?”, tanya Noni penasaran.
Ruri meletakkan sendoknya tenggelam dalam mangkuk sup. Pandangannya masih menunduk, namun matanya nanar ke atas menatap Noni.

"Eh, kalau kau tak suka, tak dijawab juga tak apa loh”, jawab Noni segan.

“Dia marah karena 3 bulan lalu aku pergi menjenguk Ayah. Ibu benci sekali dengan Ayah sejak perselingkuhannya dengan adik Ibu terbongkar”, jawab Ruri datar.
Noni agak terperangah mendengar penuturan Ruri, tapi ia pandai pura-pura menyembunyikannya.

“Ya sudah, coba saja temui Ibu, Ri, jelaskan padanya pelan-pelan, yakinlah tak ada Ibu yang tak memaafkan”, Noni mencoba memberi nasihat dengan pelan.

“Bagaimana bisa jumpa? Chat ku saja enggan dibalasnya”, Tutup Ruri.  
                                                                             
                                                                           ooOOoo 



Hari sudah gelap. Setelah beberapa jam berdiri di kereta,  Ruri tiba juga di stasiun Gambir, jarak dari Grogol ke Gambir memang memakan waktu lama. Ya, rumah ibu ada disana. Setelah menumpang ojek dari Gambir, akhirnya ia tiba di gerbang rumah ibu, ia membuka gerbang besar yang tak terkunci itu, lalu masuk ke halaman.

Halaman rumah ibu bisa dibilang cukup luas. Namun Ruri tak langsung menuju ke teras rumah, ia malah mengitari rumah ke sudut semak-semak belukar di halaman belakang rumah. Ia merogoh sesuatu dengan susah payah di antara semak belukar. Ruri terus merogoh dan menjorokkan badannya agak masuk ke semak belukar. Tak lama ia berhasil menyentuh barang yang dicarinya. Pisau. Dengan masih berlumuran darah yang sudah kering. Ruri kembali mengitari halaman ke sudut depan dekat gerbang. Di bawah pohon mahoni yang rindang, batangnya cukup lebar, Ruri mengambil cangkul di dekat akar pohon mahoni, lalu menggali tanah di samping gundukan tanah besar disitu. Pisau itu dikuburnya disana, persis di samping gundukan besar tanah iu. Setelah itu Ruri pergi menuju gerbang rumah, sebelum membuka gerbang, ia menoleh lagi ke belakang, dipandanginya lekat-lekat rumah tua klasik dari kayu itu untuk terakhir kalinya, rumah ibu. Lampu terasnya mati. Sudah 2 bulan ibu tak lagi tinggal di rumah itu. Ibu sudah meninggal. Dibunuh.

“Ping!”, suara chat masuk terdengar dari ponsel Ruri.

Ia terkejut melihat pesan yang masuk di layar depan ponselnya, dan membacanya, “Masuklah, Ibu tak marah lagi”, mata Ruri membelalak dan nafasnya tercekat.

Sunday, 2 September 2018

Hilang




Dilangkahkannya kakinya perlahan. Sesekali dimainkannya rok bunga pink kuning cerah yang dikenakannya. Cuaca hari ini cerah, secerah hati Lina. Meskipun tidak lelah, ia tetap mengistirahatkan badannya di bangku pinggir jalan di taman Braga. Lina tak henti-hentinya mengucap syukur akan kelahiran anaknya 3 bulan lagi. Yah, masih lama sih, tapi buncahan hatinya sudah tak terbendung lagi.

Saat sedang memejam mata, Lina tertidur. Ia tersentak saat terdengar getaran dan suara ponsel dari tas sandangnya. Segera ia mengangkat telefon dari suaminya. 
“Kamu dari mana saja sayang?”, suaminya bertanya dengan suara resah.
“Maaf Mas, Aku ketiduran di bangku taman kota”, jawab Lina pasrah.
“Daerah mana?
“Braga, Mas.”
“Oh, dekat. Iya deh, aku tunggu di rumah, hati-hati ya sayang.”

Lina segera beranjak dari kursinya. Tiba-tiba ia tersentak dan berhenti. Ia elus perutnya. 
“Hufft… gerakanku terlalu cepat, untung dedek di dalam tak terkejut”, batinnya.
Dengan santai ia kembali melangkahkan kakinya, pulang ke rumah. Langit senja tampak merona jingga kehitaman, tanda hari mulai gelap.

Di persimpangan jalan, Lina berpapasan dengan seorang nenek renta berwajah masam. Saat bertemu tatap dalam jarak yang terbilang dekat, nenek tua itu berhenti dan menoleh ke perut Lina yang tampak membuncit dari rok pink kuning bunga-bunganya.

“Hamil?”, tanya si Nenek.
“Iya nih, Nek”, jawab Lina kaku.
“Berapa bulan?”, tanya si Nenek lagi.
“Alhamdulillah 25 minggu, Nek”, jawabnya sumringah.
“Oh”, balas si Nenek datar. “Pulanglah, sudah magrib”, jawab si nenek sambil berlalu sembari memegang perut Lina. Agak ditekan. Sakit.

Lina memandangi si Nenek hingga hilang di persimpangan. “Aneh sekali”, pikirnya.
Ia kembali mengelus perutnya dan berjalan pulang perlahan.

                                            ooOOOoo

Pagi itu Lina malas bangun terlalu subuh. Sengaja ia balikkan tubuhnya ke kanan sebentar, lalu kembali tidur lagi. Ia mengintip dari balik selimut dan melihat suaminya tidak ada di sampingnya. Tempat tidur bagiannya masih rapi.
“Hmm.. Belum pulang juga”, batinnya.

                                         ooOOOoo

Lina berlari perlahan menutup jendela dapur rumahnya. Hujan deras mengguyur kota Bandung. Halaman rumah sudah dibanjiri hujan. Lina menunggu dengan resah di dapur. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. Ia begitu sumringah melihat suaminya pulang. Buru-buru ia mengambil handuk di westafel dan membantu mengeringkan badan Mas Gardi.
“Capek Mas?”, tanya Lina lembut sembari mengusap rambut suaminya yang basah.
“Tadi sih iya, sekarang gak lagi, ‘kan uda liat kamu”
Lina tersenyum kecil sambil mendorong bahu suaminya. “Ah, Mas ini bisa aja deh. Kamu mau mandi? Aku panasin air ya?”.
“Gak usah, aku cuma sebentar, ini pulang cuma mau ganti sepatu lho sayang”. 
Lina diam tertegun, “Oh.”

                                    ooOOoo

Malam ini Lina pun tidur sendiri, sudah berapa malam sejak 3 bulan terakhir suaminya jarang tidur di rumah. “Mungkin sibuk di kerjaan”, pikirnya.
Sesekali ia elus perutnya yang terasa sedikit nyeri. Lina mengatur napas perlahan yang terasa sesak. Air matanya mengalir, tak terasa bantalnya pun sudah basah.

Hari sudah pagi, Lina terbangun dengan mata sembab, sinar matahari dari celah gorden menusuk-nusuk matanya. Lina tersentak ketika dilihatnya pukul sudah menunjukkan jam 10 pagi. Segera ia tarik selimut dari badannya dan bergegas.
“Aaaaaaaarghhhhh!!!!!”, betapa Lina terkejut bukan kepalang ketika melihat perut buncitnya telah hilang!
Apa yang terjadi? Mimpikah?
Berkali-kali ia meraba perutnya tetapi nihil.  Dengan bodohnya Lina mengobrak-abrik selimut, kasur, bantal dan menjenguk kolong tempat tidur seakan mencari benda yang hilang. 
Perutnya rata. Kandungannya hilang.

                                        ooOOoo

Mas Gardi terbangun dengan sentakan pukulan di bahunya.
“Ih bangun! Istri kamu nih nelpon-nelpon! Berisik amat sih!”
“Siapa sih, ‘kan kamu yang istri aku”, desah Mas Gardi yang masih mengantuk. Ia ambil hp nya dan segera ia matikan ponselnya. Telepon dari Lina pun seketika terputus.
“Kamu ih, nyebelin deh!”
“Apalagi sih sayang”, rayu Mas Gardi mesra sembari melingkarkan lengannya di perut Juma, dielusnya perut buncit Juma, “Tuh, langsung 6 bulan ‘kan?”
Juma tersenyum, dan balik memeluk suami yang sudah dinikahinya 5 tahun itu.



Thursday, 30 August 2018

Sesederhana Itu :)


Aku senang melihat centang dua biru di layar ponsel ku setiap kali kita bercerita di layanan chat itu. Centang dua biru itu tidak perlu lama kutunggu, kau selalu memberinya dengan cepat, sesibuk apapun dirimu. Yah, kadang sesibuk apapun aku.

“U not miss me”, aju mu suatu sore. “U not call me for this whole day, I’ve been missing u, lots!”.

“I’m sorry Jaana, I was sooo busy! But I do miss u n think about u this whole day”, aku beralasan.

“Yes u miss me that much that’s why I’m the one who sent u the chat first”, tutupmu.

Sesaat aku bergeming, betapa kalimat itu sangat menohokku. Lalu aku harus membujukmu kalau sudah begitu. Cukup dengan telepon, yang ada videonya pastinya. Lalu waktu kembali renyah, tawamu, candaku, ceritamu. Candu.
Kadang kita memang sesederhana itu.. <3

Wednesday, 8 August 2018

Ibadah yang Indah :)



"Shand, kamu tau gak obat galau itu apa?", celetuk salah satu temanku saat sedang berdinas sore.
"Apa?", tanyaku yang tak begitu penasaran.
"Menikah".

Dulu aku penasaran dengan jawabannya, walaupun hanya sesaat, sebab menikah masih jauh dari list yang ingin kulakukan saat itu. Dan sekarang setelah menjalaninya, ternyata hal itu benar.
Dulu, setelah mengakhiri "jabatan" dengan si A maka aku berpikir agak sulit untuk menerima si B. Dan benar saja, selama menjalani "jabatan baru" dengan si B, aku masih saja teringat dengan si A
(-̩̩̩-͡ ̗–̩̩̩͡ )
Begitu juga ketika selesai menjalani"jabatan" bersama si B, ketika menjalaninya dengan si C, bayang si B masih saja ada, ntah itu benci ataupun kecewa atau bahkan suka Σ( ° △ °|||)?

Nah, oleh karena semua pengalaman bodoh itu maka aku pesimis akan move on dari seorang mantan yang aku pikir akan sesekali mengingatnya jika aku sudah menikah nanti. Ternyata??

Yap, obat galau itu adalah menikah. Dan tak ada solusi lain bagi sepasang insan yang saling jatuh cinta selain menikah (Riwayat Ibnu Majah).
Ternyata setelah menikah, Inshaallah tak pernah ada yang lain yang teringat, terpikir pun tidak sama sekali. Maha Suci Allah yang membolak-balikkan hati. Asal niat kita menikah untuk ibadah, inshaallah Allah beri kebaikan-Nya.


Segala sesuatu perlu kita kembalikan pada Allah. Terlepas apakah kita akan menjadi istri yang bekerja, istri yang stay di rumah. Seperti yang aku jalani, lelah pulang bekerja, memasak, membersihkan rumah, semakin banyak yang dikerjakan inshaallah semakin banyak pahalanya asal dengan niat ibadah dan inshaallah berkah.


Dalam riwayat lain, juga dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا تزوج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي
"Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada setengah sisanya."(more --> https://konsultasisyariah.com)
So, fix ya, kalo nikah itu ibadah, mendapatkan suami yang ganteng, baik, pengertian, menyayangi istri, itu semua bagiku adalah bonus. And I'm so lucky that i've being the luckiest one for having him as my husband :)
~(‘▽’~) (~’▽’)~    (~‾ ▽‾)~    (˘⌣˘)ε˘`)   (˘ з ˘)

Hadirmu menambah satu semarak lagi pada jingga.

Sebab kini ia punya rasa.
Warnamu sarat ruahkan rona bahagia.
Lalu aku tau, bahwa sakit yang dulu hanya alpa, atau memang tak pernah ada?