“Masakan hari ini enak sekali”, kusantap suapan ketiga
dengan lahap.
“Iyakah? Aku hanya menumisnya sederhana loh”, jawab istriku
tersipu.
Istriku ini memang jago sekali memasak. Tidak hanya itu,
dalam hal mengurusi rumah dan manajemen keuangan rumah tangga pun ia mampu irit
tapi tak pelit. Hampir tidak ada kekurangan dalam dirinya.
“Enak sekali udang
kecap ini”, kupuji lagi istriku yang duduk sumringah di depan ku. Kulihat ia
ketawa cekikikan sendiri.
“Eh, tadi ibu telepon, ia meminta kita ke rumah hari minggu
ini, ada acara arisan di rumahnya”, istriku bercerita datar.
“Ibu? Ibu yang mana?”, tanyaku.
“Ibuku”.
“Sari, tak baik kau menghubunginya lagi, hanya membuat hatinya sedih. Kau harus
merelakan ia melupakanmu. Kita juga berjanji akan menginap di rumah ibunya
Ratna minggu ini.”
Mata Sari memerah, air wajahnya seketika berubah. Ia segera
berdiri dengan marah dan berlalu dari hadapanku. Seketika selera makanku pun
hilang. Kuikuti Sari ke kamar, ia duduk di sudut tempat tidur di sudut kamar
dengan kaki menjuntai ke bawah dan hanya duduk diam disana. Itu tempat
favoritnya, pikirku. Biar sajalah dia disana menenangkan diri.
***
Hari ini sabtu, kupikir bisa lah bangun agak telat. Kulihat
istriku tak lagi berbaring di sampingku. Dan benar saja, di luar kamar sudah
kucium harumnya nasi goreng teri buatan Sari, kulihat Sari dengan lihainya
memainkan segala bumbu dan alat masakan di dapur. Pagi ini ia terlihat lebih
ceria, rambut panjangnya terjuntai hingga ke paha. Bagiku melihat Sari bahagia
saja sudah cukup. Sudah 6 tahun pernikahan kami namun belum satu anak pun
dititipkan Tuhan untuk kami. Lalu kudekati Ia, kubelai rambutnya.
“Tidak ada satu kekurangan pun yang kutemui dari dirimu”,
Sari terloncat terkejut dan menoleh ke belakang, “Oh, kamu mas, bikin terkejut
saja!”
“Hahaha… Kamu manis sekali cemberut begitu, aku suka”.
Sari mematikan kompor tiba-tiba dan berbalik mendengus. “Kamu mau apa?”,
tanyanya ketus.
“Tidak kah kamu mau anak?”, tanyaku menggodanya.
Tiba-tiba Sari membanting sendok ke wajan penggorengan dan berlalu.
“Kamu kenapa?”, tanyaku heran.
“Siapa yang cantik yang kau bilang itu? Ratna kah?? Atau
aku? Tak ada wajahku dalam wajah ini!, dan aku tak akan mau melahirkan anak
untukmu, anak yang hanya akan berwajah seperti Ratna, bukan aku! Kalau pun anak
itu ada, lebih baik dia kubunuh seperti Ratnamu!”, mata Sari membelalak dan
tampak seperti bukan dia, lalu ia bergegas ke kamar.
Kuikuti ia ke kamar, lampu kamar gelap, dan tercium bau anyir, lagi-lagi ia
duduk di sudut kamar. Kepalanya bergoyang ke atas dan ke bawah dengan kencang,
membuat rambut panjangnya yang tadi terikat rapi menjadi terurai acak-acakan.
Lama aku memperhatikannya sampai tiba-tiba ia berhenti menggoyangkan kepalanya
dan mendelik ke arahku. Matanya merah sekali. Mata Sari. Aku segera berlari
ketakutan. Dan Sari pun berteriak melengking kencang.
*6 tahun lalu*
“Maaf Ratna, aku tak bisa menerima ajakanmu untuk menikah,
sementara kekasihku, Sari sedang terbaring di rumah sakit.”, jawabku lirih.
“Bukankah ia sudah merelakanmu? Dengan kondisi kaki kanan yang sudah diamputasi
dan kelumpuhan anggota badan kiri seperti itu apakah kau masih mau dengannya?”,
tanya Ratna menggebu.
“Ratna! Tak pantas kau bicara seperti itu! Sari seperti itu
karena aku! Aku yang membuatnya kecelakaan dan menderita luka parah! Apakah
menurutmu pantas kalau aku meninggalkannya begitu saja??”, kepalaku terasa
panas, dadaku sesak sekali. Semua begitu membingungkan.
“Maaf, maaf mas, aku tak bermaksud begitu”, Ratna mulai terisak.
Air mata mengalir dari pipi Ratna, kulihat gadis disampingku menangis pelan.
Ratna sosok yang manis, hatinya begitu lembut. Perlahan kuusap air mata dari
pipi putihnya, hidung dan matanya yang memerah sembab terlihat semakin
menggemaskan, kuusap kepalanya yang tertutup jilbab.
“Betapa beruntung pria yang akan mendapatkan ia nanti”,
pikirku.
Tapi, kenapa baru 3 bulan ini aku kenal denganmu? Kenapa harus Sari? Kenapa
harus Sari yang datang di kehidupanku 2 tahun lebih awal darimu?
Meskipun Ratna wanita cantik dan lembut, idaman semua pria, namun Sari
merupakan sosok wanita yang mandiri, sosok istri yang juga aku dambakan.
Esoknya seperti biasa, aku menjenguk Sari di rumah sakit.
Dokter baru saja membolehkan Sari pindah dari ICU ke ruang rawatan biasa, jadi
aku bisa lebih berlama-lama menjenguknya, dan duduk di sampingnya. Sari memang
sosok wanita yang kuat dan mandiri, dengan kondisi begini pun ia masih bisa
terlihat ceria.
“Aku senang kau tak kenapa-kenapa”, Sari tersenyum.
Aku terdiam. Tak tau mau menjawab apa. Kecelakaan tragis itu entah kenapa hanya
menyelamatkanku. Adik Sari meninggal setelah terlempar dari kaca mobil depan
dan kepalanya terbanting duluan ke aspal. Sari yang saat itu duduk di kursi
belakang mobil terhimpit di kursi, kaki kanannya terjepit parah di bawah kursi
dan badan kiri sulit dievakuasi karena terhimpit badan mobil. Sedangkan aku
hanya luka di bagian pelipis kiri. Airbag
mobil telah menyelamatkanku.
Sesaat aku melihat ke sekeliling kamar. Banyak bunga-bunga dalam candi kecil
berisi lilin yang redup. Aku merasakan ada yang aneh. Dengan gusar kuperhatikan
sekeliling kamar lebih seksama. Tanpa sengaja kakiku terpijak seikat bunga di
lantai. Kupindahkan kakiku dengan cepat, dan terlihatku di bawah tempat tidur
Sari banyak sekali bunga diikat dan lilin-lilin redup disana. Ada secarik foto
di tengah rangkaian bunga tersebut dan kuperhatikan lebih detail. Wajah Ratna.
Aku terperanjat. “Apa maksudnya ini?”, tanyaku heran.
Sari tersenyum aneh. Lama ia tersenyum dan berujar dengan tenang, “Aku ingin
menjadi Ratna”.
“Apa maksudmu?,
“Aku tau kau juga mengaguminya, dan kau juga tau dengan kondisi begini hidupku
tak akan lama lagi”,
“Ini bukan sepertimu, kau tak pesimis seperti ini”, jawabku ketus.
“Tenang, aku tak akan meninggalkanmu, aku akan terus hidup”, jawab Sari tenang.
“Maksudmu?”, aku semakin tak mengerti.
“Aku akan terus hidup. Di badan Ratna. Aku belum mau mati. Biar dia saja yang
mati.”